The Murderer

The Murderer

Tanganku tidak bisa berhenti bergetar.Aku berusaha menahan pistol untuk tidak jatuh dari peganganku. Tubuh itu tergelatak dalam kubangan darah di depanku. Aku tidak segera pergi atau menelepon ambulan. Aku hanya berusaha menahan deru napas dan detak jantung ini agar tidak terdengar orang lain. Bodoh!Sudah malam dan kurasa tidak ada yang mendengar. Aku memperhatkan tubuh itu sekali lagi, mengelilinginya untuk memastikan dia tidak bergerak lagi. Yup!adikku sudah tidak bernyawa lagi.

Sekilas gambar bermunculan di kepalaku. Adikku anak peempuan satu-satunya, seperti anak perempuan kebanyakan. Dimanja dengan banyak hal dan bahkan kupikir itu terlalu berlebihan. Aku terkadang tidak terlalu memikirkan hal itu dan sibuk mencari udara segar. Bermotor saat udara masih berbau air hujan. Itu satu-satunya penghiburku. Banyak orang yg bilang aku pecundang. Tidak punya pekerjaan, tidak punya masa depan. Tapi tidak untuk adik cantikku. Dia punya segalanya. Pintar, selalu tersenyum, ramah, punya masa depan cerah. And all the fucking bullshit!

Aku tahu keluargaku sudah tidak mempedulikan diriku lagi karena ada seseorang yang lebih pantas untuk diperhatikan. Aku membencinya, sama sperti halnya aku membenci diriku sendiri. Nyaris peluru itu masuk ke tengkorak kepalaku. Tapi berulang kali pula aku berhasil menguatkan diriku sendiri dan obat penenang menjadi pilihan lain. Aku perlu seseorang untuk dipersalahkan atas ketidakberuntunganku. Suara tawa mengingatkanku akan seseorang yang ternyata kusadari memang pantas menjadi pelampiasanku. Adikku tersayang. Adikku akan selalu berdiri diantara aku dan orangtuaku. Keberadaanku akan selalu diragukan. Aku sering merasa muak. Ingin rasanya pergi dari tempat ini. Tapi toh aku tidak bisa kemana-mana. Kurasa tidak akan ada tempat untuk pecundang. Bermacam-macam skenario sudah kususun. Tidak ada gunanya. Nafsu dan rasa muak ini sudah tidak tertahankan.

Dan beginilah. Aku berdiri di depan mayat adikku dengan perasaan takut. Dan tentu saja tidak percaya. Aku punya keberanian untuk melakukannya. Suara berisik di luar menyadarkanku. Serentak itu pula aku langsung merampas tas yang sudah kusiapkan sebelumnya dan beranjak pergi. Sudah waktunya kabur.

Toi menutup halaman yang baru dibacanya. Sebuah catatan terakhir. Ternyata memang ada kebencian itu. Dan memang tidak pernah ada kesempurnaan dan kemurnian hati. Mungkin saja ada tapi Toi tidak terlalu ingin mempertahankan. Toh Toi hanya manusia yang mempunyai sisi gelap juga. Toi mengamati tubuh yang tergeletak di depannya, menghela napas. Semua sudah berakhir. Toi merasa lelah dan ingin istirahat. Toi beranjak masuk ke dalam kamar. Sebelum tidur, Toi menyempatkan diri menulis catatan di halaman yg tadi dibacanya.

“ Maafkan Toi, Kak. Tapi Toi harus melakukan ini. Toi merasa terancam dan ini pun Toi lakukan untuk kebaikan kakak. Kakak tidak bisa begini terus, karena Toi sayang Kakak. Semoga Kakak bahagia di sana.

NB : Terimakasih untuk skenario-skenarionya. Tidak ada yg lebih baik dari yang satu ini. Aku rasa aku tidak akan ketahuan. Kecuali mereka menemukan catatan ini.”

Comments