Halo Pagi !

source : www.mnn.com


Bulan kedua, aku sudah merasa lebih baik. Beberapa kali aku mengunjungi pusat kebugaran, untuk berenang atau ikut aerobik.

Malik benar, aku perlu keluar kadang-kadang, untuk menikmati udara segar. Terkadang aku membiarkan jendela mobilku terbuka, membiarkan udara alami masuk. Kebiasan baru muncul sejak aku tinggal dengan Malik. Seringkali aku membuatkan dia sarapan, atau bekal makan siang, yang seringkali dia berusaha tolak.

Sejak obrolan kami malam itu, aku jadi sering memperhatikan Malik. Melihat dia sibuk bekerja atau bicara keras di telepon, yang biasanya diakhiri dengan geraman singkat. Sepertinya bisnisnya tidak berjalan terlalu baik. Aku tidak terlalu tahu banyak, kami memang jarang ngobrol. Malam itu seperti obrolan serius pertama kami. 
Apa aku harus pura-pura bermimpi buruk lagi ? 
Aku juga memperhatikan kebiasaan Malik. Bangun jam set 5 pagi.
 
"Lho? Kamu udah bangun juga ?" seru Malik kaget, mendapati aku di meja makan dengan mata tertutup. Aku juga terkaget, dan mengusap mata kuat-kuat berusaha bangun.
 
"Kamu mau kemana pagi-pagi gini ?" tanya Malik sambil membuka laci, mau membuat kopi.

"Eh eh aku aja yang buat. Mau kopi dan omelette kan ?" Aku buru-buru mengambil alih gelas yang dipegang Malik.

Malik terdiam dan berbisik, "Tumben."

“Gpp sekali-kali. Kamu sudah sering bantu, sekarang giliran aku yang bantu kamu. Kamu duduk saja disana.”

“Oke deh.” Malik beranjak dan duduk di sofa sambil mengamati ponselnya.

Aku mengambil bawang bombay, telur dan keju. Aku mulai memotong bawang dan mengocok telur. Ouch! Perih. Aroma bawang ini menusuk mataku. Berikutnya menyiapkan wajan dan menambahkan sedikit minyak. Rasanya aku sudah bisa menguasai dapur. Kuakui untuk urusan dapur, aku hanyalah pengamat. Bawang mulai tercium wangi, jadi aku mulai memotong lembaran keju kecil. Mendadak aku teringat belum menambahkan garam kedalam telur. “Ouwww!” Percikan minyak mengenai tanganku. Apinya terlalu besar dan mulai tercium bawang gosong. Panik, aku berusaha mematikan kompor.
 
Prang! Aku menyenggol mangkuk telur. Oh No!

Malik bangkit, mematikan kompor dan tersenyum kepadaku. Mukaku tampak putus asa melihat lantai yang berubah warna menjadi kuning. Malik membantuku membereskan dapur dan akhirnya membuat sarapannya sendiri.

“Sori ya, aku malah membuat kekacauan.” kataku setelah kami berdua duduk di meja makan. Aku membuat segelas kopi untukku sendiri, membuatku lebih tenang.

“It’s okay. Kamu tidak perlu memaksakan diri bangun pagi-pagi dan membuatkanku sarapan.” Katanya sambil tertawa kecil melihatku merana. “Aku sangat menghargainya tapi kamu tidak perlu repot-repot.”

“Aku hanya bisa merusak. Bagaimana mungkin aku bisa kembali hidup normal.” Aku menutup wajah dengan kedua tanganku.

“Sudahlah. Itu hanya hal kecil. Ga usah memikirkan hal yang ga penting.”

Aku membuka jariku sehingga bisa melihak Malik dengan jelas.

“You know what?! Aku tidak akan menyerah. Hari ini aku akan belajar memasak jadi besok sarapan versi aku.” Kataku penuh semangat.

Malik menaikkan kedua alisnya, “Hati-hati ya. Jangan sampai kebakaran.”

“Apaan siih! Lebay!” Aku menyambar roti bakar dari piring Malik, dan mukanya berubah cemberut.

Malik pamit dan untuk pertama kalinya, aku melihat punggunya menjauh untuk pergi kerja.
...dan untuk pertama kalinya aku kembali bahagia.

to be continued...

Comments