RENCANAMU

source : www.healthline.com

Dua minggu berlalu, dan Malik sudah mulai menyukai masakanku. Aku senang sekaligus sedikit merasa berguna melihat Malik tertidur nyenyak karena kekenyangan. Aku juga sudah mulai menyelesaikan postingan blog. Puisi, cerita pendek atau sekedar curhatan hati sudah aku bagikan di platform blog gratis itu. Interaksiku dengan Malik semakin menarik. Setiap pagi kami pasti sarapan bersama. Malam, walaupun aku harus berusaha menahan kantuk, Malik bercerita banyak hal, tertawa –tawa dan diakhiri dengan tidur sambil tersenyum. Malik sangat membantuku melupakan bahwa aku sudah tidak punya keluarga, terkadang aku masih menangis mengingat Mama, dan Malik akan kembali membuatku tersenyum.

“Sekarang kamu makin pintar masaknya. Enak nih kalau bisa seperti ini terus, selamanya.” Malik mengedip nakal.
"Apa siih?!" kata-katanya ngawur. Aku merasakan hangat di dada.
Malik terkikik.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" muka Malik mendadak serius.
Aku menunduk,mengaduk sereal favoritku.
"Lebih baik. Aku sudah mulai rutin menulis. Aku juga sudah kontak dengan beberapa temanku. Seperti saran kamu,aku hrs kembali normal."
"Aku lega mendengarnya. Lebih cepat lebih baik."
Malik menghabiskan kopinya.
Aku tidak suka dengan nada suaranya.
"Maksud kamu apa?"
"Maksud yg mana?" Aku menatap Malik tajam. Aku tidak percaya dia msh bertanya. Tidak sadarkah dia?
"Soal lebih cepat lebih baik. Apa aku selama ini menyusahkan kamu ?"
Malik berhenti membereskan tas.
"Wah? Sepertinya aku ga bisa komentar apapun. Kita lanjut lagi nanti malam ya." Malik bangkit dan hampir mencapai pintu depan sebelum akhirnya aku sampai di depannya.
"Kamu jangan jadi pengecut seperti ini Malik. Kamu hrs jelaskan maksud kata-kata kamu tadi. Aku butuh itu sekarang."
"Ini bukan waktu yang tepat. Tolong kamu minggir."
"Kamu kok jadi ga sopan. Terus kapan waktu yg tepat?"
"Kalau mood kamu sudah membaik. Sekarang aku mohon kamu minggir karena aku akan telat sampai kantor."
Nada bicaraku yg tinggi tidak mempan buat Malik. Jadi aku mengalah dan membiarkan Malik pergi.
Perasaan hangat tadi hilang dan digantikan dengan amarah.
Apa maksudnya? Apakah dia punya rencana yang tidak kuketahui?
 
Malam itu sepertinya Malik pulang sangat larut, aku sudah tertidur nyenyak. Seharian aku membersihkan rumah untuk menenangkan rasa marahku. Aku hanya ingat Malik masuk ke kamarku dan mengecupku sekilas. Aku rasa itu nyata bukan mimpi.
 
Paginya aku terlambat bangun. Aroma nasi goreng sudah menguar saat aku masuk dapur. Malik menyiapkan sarapan.
"Pagi. Tidur nyenyak? Ayok duduk sini, sarapan sudah siap. "
Aku tidak beranjak dan berkata, " Tumben. Ini permintaan maaf ya?"
Malik menatapku, tersenyum dan berkata sekali lagi, "Ayok kesini."
Seperti anak kecil,aku menurut dan duduk di seberangnya. Sepiring nasi goreng dengan telor ceplok tersaji sempurna. Ah! Malik memang perfeksionis. Jangan selama ini Malik merasa jijik melihat masakanku.
Malik mulai makan dan aku langsung mengikutinya.
"Bagaimana? Enak ga?"
Aku mengangguk. Masakannya memang enak.
"Jadi aku dimaafkan?"
"Aku hanya butuh penjelasan!" Malik kaget sampai menghentikan suapannya. Ternyata aku sama kagetnya dengan Malik.
Kenapa aku marah? Malik bukan siapa2 dan dia berhak untuk meninggalkan aku kapanpun juga. Jadi sgt lucu kalau aku uring2an seperti ini.

Malik meletakkan sendoknya, " Waktu akan terus berjalan. Siap atau tidak siap kamu akan menyadari kamu kehilangan waktu. Jadi klo kamu sudah melupakan kesedihanmu dan hidup normal lebih cepat itu sangat baik buat dirimu."
Aku mengerti maksudnya. Nasi goreng ini sangat membantuku jadi lebih cerdas.
"Sepertinya aku yang harus minta maaf. Aku bertindak sangat bodoh dengan memarahimu kemarin. Aku mngerti klo maksudmu sangat baik."
Malik mendesah lega. Kami berdua melanjutkan sarapan sambil saling tersenyum.
"Tapi apakah kamu punya rencana pergi ?"
" Aku masih belum tahu. Suatu saat nanti aku memang harus pergi kan?! Suamimu pasti keberatan."
Kami tertawa.
"Ups! Aku harus berangkat. Jalanan sebentar lg macet. Sampai nanti malam ya."
" Oke. Bye."

---------------------------------------------------------------------------------⧫------------------------------------------------------------------------------------------

Aku membuka pintu apartemen, meninggalkan Sarah yang sekarang menikmati kopinya. Suatu saat aku memang harus pergi. Barang-barang pribadiku sudah tertata rapi di dua koper. Aku sudah siap pergi. Bukan nanti, tapi dalam dua hari. 

 to be continued..

Comments