Cikarang, 18 Februari 2018
Miko menyalakan laptop dan
membiarkannya terbuka, di lembar kosong microsoft word. Today is his last day
in long weekend. Wondered..what should he write for his next blog. Pagi ini
dimulai dengan lari pagi, sarapan porsi besar (lari membuatku kelaparan!), dan
mandi. Miko berharap ide-ide muncul dengan pagi yang sempurna.
Lembar pertama itu masih kosong.
Ide tidak muncul satupun. Pikirannya malah tidak fokus. Rasa ini tidak bisa
diajak kerjasama. Oh! Rasa, sudah lama tidak jumpa. Ingatannya kembali ke 2
minggu lalu. Waktu, saat dengan gilanya, Miko menerima ajakan teman untuk
menemaninya kopi darat.
Miko tidak suka dengan
istilah kopi darat. Dengan segala sesuatu yang serba virtual ini, sulit rasanya
percaya memilih seseorang secara random. “Gua ga percaya dia secantik ini” Miko
melirik fotonya sekilas. “Dari 99% orang yang display ppnya palsu, ada 1%
yang jujur. Dia 1% orang itu” Lion tersenyum sambil merapikan rambutnya yang
terurai berantakan, benar-benar mirip ‘singa’. Miko percaya temannya ini
terkena pelet yang ampuh dari perempuan barunya itu, sampai membuatnya sangat naif.
Mereka berteman dekat karena memiliki ide yang sama, there’s no such thing like
fall in love. It’s not real.
Miko menatap dirinya di balik
kaca besar yang sekarang dipenuhi figur Lion. Mukanya tampan tapi tampangnya
sangat memprihatinkan. Miko tidak akan repot-repot memperbaikinya, dia tahu Lion
akan protes habis-habisan. Don’t steal my thunder! “Damn! udah jam segini ?! Ayo
cepetan berangkat! Kesan pertama harus bagus, jangan sampai terlambat. Gimana
tampang gua ?” Miko berusaha jujur dengan mengacungkan kedua jempol “Keren!”,
berharap bisa segera berangkat dan menyelesaikan omong kosong kopi darat ini.
Setengah jam berikutnya, Miko
berada di belakang kemudi, mengarahkan mobilnya ke kafe di Dago. Jalanan cukup
ramai, wajar karena ini malam minggu. Miko melirik temannya yang bolak balik
melirik handphone, khawatir akan terlambat, atau mungkin karena tidak sabar
bertemu perempuan itu. “Kenapa harus malam minggu sih? Kenapa ga besok malam
saja, pasti lebih sepi.” Lion tidak menjawab, masih tertarik melihat padatnya
jalanan. “Oh no! Pacar lu anak kuliahan ya?” Miko berpura-pura kaget. “Ngaco
lu! Dia belum jadi pacar gua, dan dia udah cukup umur kok. Kan namanya juga
kencan, harus malam minggu lah. Don’t ask me something obvious.” Miko menahan
ketawanya sendiri.
Setelah Lion mengusap keringatnya
berulang kali, mereka akhirnya sampai di kafe tersebut. Jelas penuh. Miko hampir
punya niat untuk pergi, tapi teringat janjinya. Lion menghampiri perempuan yang
berdiri di pintu masuk dan beranjak ke meja yang sudah diberi tanda ‘reserved’.
“Jadi gua langsung out ya.” kata Miko, lebih dari pernyataan daripada pertanyaan. “Sebentar.
Lu harus ada sampai situasi terkendali.” Lion menunjuk meja persis di
sebelahnya, yang ternyata sudah ada tanda ‘reserved’ juga. “Terkendali?” Miko
bingung, mengingat betapa Lion sangat percaya diri sejam yang lalu. “Iya. Bisa jadi
dia orang yang 99%.” Lion meringis. Miko menurut dan segera memesan segelas
kopi pada pelayan yang lewat. Lion memandang pintu masuk dan sesekali melihat
layar handphone. Tidak terlalu peduli dengan keriuhan kafe atau nikmatnya bau kopi.
Seorang perempuan masuk. Lion
melihatnya, begitupun Miko dan keduanya menahan napas. Itukah orangnya? Rambutnya
panjang terurai dengan sedikit warna jingga di ujungnya, tubuhnya proporsional,
muka polos tanpa make-up tapi sangat menarik. Pakaiannya formal dengan high
heels, lebih pantas untuk interview kerja daripada kopi darat. Perempuan itu
melangkah mendekati meja Lion, yang gugup sekarang. “Hai. Kamu yang namanya
Lion?” Lion mengangguk. “ Aku Maya. Aku kakaknya Reina.” Perempuan itu
mengulurkan tangannya. Sebelum Lion mengatakan apapun, Maya melanjutkan, “
Reina tidak bisa datang, ada yang harus aku ceritakan sama kamu.”
to be continued....
Comments
Post a Comment