Cikarang, 2 Maret 2018
Miko menatap layar ponselnya.
Nomer itu ada di harapan paling atas dengan 8 kali panggilan keluar. Lion tidak
mengangkat telepon. Hari ini Lion tidak ada di kantor.
Kemana dia ?
Miko menatap kalendernya dan
merubah beberapa janji meeting dengan klien sore ini. Miko akan mengunjungi
Lion. Pintu apartemen no 314. Miko
menekan bel sekali. Hening. Kedua kali. Masih tidak ada jawaban. Miko mengetuk
pintu dengan keras berkali-kali, sambil memanggil nama Lion. Miko tahu ini
mungkin sia-sia, tapi tidak ada pilihan lain.
“Cari siapa Mas ?”
Pintu di
sebelah kanan Miko terbuka. Pria dengan celana pendek dan kaos oblong itu
tampak terganggu
“Lion. Tau pergi kemana Mas?”
Usaha yang sekali lagi sia-sia. Ini apartemen, belum tentu pria ini tahu siapa
Lion.
“Cari aja ke atas, biasanya dia
nongkrong disana. Jangan berisik ya, saya lagi kerja.” Pria itu langsung
menutup pintunya, tidak mempedulikan tatapan Miko yang terkejut. Pria itu tahu
siapa Lion. Konyol.
Miko buru-buru keatas, berharap
belum terlambat dan menemukan hal buruk. Miko menekan tombol lantai paling atas
dan dilanjutkan dengan tangga sekali naik. Lion ada disana, duduk di tepian
gedung dengan langit jingga mengantarkan matahari pulang. Indah sekali, tapi
bayangan itu segera disingkirkan Miko, setelah melihat sahabatnya kemungkinan
dalam bahaya.
“Lion! Lu ngapain disini ? Ayo
buruan turun, pasti ada jalan keluar lain.”
Lion mengernyit, kaget dengan
teriakan Miko.
“Heh! Lu ngapain juga sih
teriak-teriak! Nyantai aja kali. Lu duduk disini bareng gua.”
Miko mendekat dan mengamati Lion
yang sedang menghisap rokok dengan santainya. Sebungkus rokok dengan setengah
isi, tergeletak di sebelahnya. Miko ragu mengikuti saran Lion, tapi tarikan
Lion menguatkan imannya. Lion menyodorkan rokok dan langsung ditolak Miko. Miko
harus waspada.
“Lu ga apa-apa kan ?” tanya Miko
dengan tatapan memelas.
Lion meletakkan telunjuk di
bibirnya, “ Nikmati pemandangan ini. Jarang-jarang kan.”
Sekali lagi Miko menurut, memang
benar, sekilas tadi dia sempat mengaguminya. Kali ini Miko akan menikmatinya
lebih lama ditemani semilir angin segar yang dikotori oleh asap rokok. Warna
jingga perlahan menghilang digantikan dengan warna hitam kelam, lampu-lampu
kota dibawah mulai dinyalakan. Lampu-lampu mini yang bergerak semakin ramai
dibawah. Saatnya pulang. Miko melirik ke arah Lion,
berharap sahabatnya itu memulai berkata sesuatu tentang kejadian kemarin malam.
Tidak ada pergerakan apapun jadi Miko berinisiatif memulai.
“Hari ini lu ga masuk, gua
telepon berkali-kali juga ga diangkat. Gua tahu kejadian kemarin malam diluar
dugaan. Tapi gua harus kasitau sesuatu sama lu.”
Lion tidak bergeming, masih
melihat kearah langit yang sekarang dipenuhi bintang-bintang gemerlapan. Miko menceritakan seperti yang
kemarin diceritakan Maya. Penyakit Reina, perasaan Reina pada Lion dan
permintaan khusus Maya.
“Gua ga mau ikut campur terlalu
dalam.” Lion akhirnya buka suara.
“Masa lu ga kasian ? Hanya sekali
pertemuan, setelah itu kita jauh-jauh dari perkara ini.” bujuk Miko.
“Selama ini gua merasa sudah
menemukan orang yang tepat buat gua. Dia mengisi kekosongan ini Mik. Gua belum
pernah seyakin dan sebahagia ini. Gila! Lu tau kan gua benci hal-hal romantis
kosong seperti ini. Tapi gua juga ga bisa bohong kalau inilah yang namanya
cinta. Rasa cinta ini yang membawa gua terlalu jauh ke dalam khayalan-khayalan
kemapanan.”
Lion menunduk, memandangi kakinya
yang menggantung bebas.
“Gua kecewa Mik. Ini bukan yang
gua harapkan. Ini ga ada di salah satu khayalan gua. Gua berkali-kali berharap
ini hanya mimpi, atau, hehehehe..berusaha tidak seperti pria-pria cengeng
lainnya. Dan lihat dimana aku sekarang..di atas atap dan kembali merokok,
seperti orang-orang yang paling aku benci.”
Lion membuang puntung rokok
terakhirnya dan memandangi langit malam. Miko tahu rasanya kekecewaan ini tapi
ada janji yang harus dia penuhi.
“Yah, gua rasa ini salah satu
kesialan lu.” Mereka berdua tersenyum sinis.
“Gua tahu ini bukan momen yang
sesuai. Tapi kita perlu melakukan ini, demi Reina.”
Lion tidak bergeming. Miko mengatakan
alasan-alasan yang jelas dan humanis. Berkali-kali Lion menggeleng untuk setiap
bujukan Miko.
“Jangan sampai rasa kecewa ini
membuat kita jadi tidak peduli. Cukup sekali dan segera kita sudahi ini.”
Lion menarik napas panjang, “Oke.
Satu kali. Besok ya."
Lion berbalik, berdiri dan
meninggalkan Miko dalam kebingungan. Miko tidak menyangka secepat ini Lion
memutuskan. Iya, lebih cepat memang lebih baik.
--------------------------------------------------------------------•••---------------------------------------------------------
Miko mendapati Lion, duduk di
meja tinggi, menikmati secangkir kopi.
“Mau kopi ? Ambil sendiri ya
disana.”
Lion tidak bergeming, menyeruput
kopinya yang masih mengepul. Miko melangkah mendekati dapur dan menyiapkan
segelas untuk dirinya. Hari ini memang agak mendung dan dingin, rasanya tepat
sekali untuk libur kerja hari ini. Mereka berdua memutuskan cuti untuk misi
ini. Miko melirik jam tangannya. Jam 9 pagi, janji temu mereka dengan Maya.
“Lu udah siap?” tanya Miko
“Siap untuk apa Mik? Gua udah
siap dari kemarin. Gua ga mau berharap apapun sekarang. Percuma. Selesaikan
saja ini secepatnya.”
Lion berkata datar, dia kembali seperti dirinya yang
dulu, dingin dan tidak peduli. Dia lebih antusias mengerjakan project kantor
yang gila-gilaan.
Perjalanan kali ini berbeda
meskipun dengan tujuan sama, menemui Reina. Sikap Lion berubah seratus derajat,
dia lebih kelihatan marah ketimbang sedih. Rumah Reina termasuk kategori rumah
lama dengan perawatan yang modern. Pot-pot gantung disusun rapi di rak taman
gaya skandinavia. Warna putih kursi-kursi di sisi taman tampak kontras dengan
dinding berwarna krem dan abu. Batu-batu kali disusun bulat membentuk jalan
setapak ke arah taman. Rumahnya sangat nyaman, jauh berbeda dengan suasana hati
Miko dan Lion saat ini.
Miko memarkirkan mobilnya di tepi
jalan dan mematikan mesinnya. Tanpa basa-basi, Lion langsung membuka pintu dan
beranjak ke pintu depan. Sepertinya dia benar-benar ingin menyelesaikan masalah
ini segera. Lion memilih tetap tinggal di mobil, mengambil ponselnya dan
mencari kontak Maya.Sebelum nada dering kedua, Lion mengetuk kaca pintu Miko
dan menunjuk ke arah depan rumah. Maya sudah berdiri di depan pintu.
“Halo, kita ketemu lagi.” Miko
berkata riang sambil mengulurkan tangan.
Nada riang buru-buru dia sembunyikan.
Momennya tidak pas. Lion masih diam berusaha mengalihkan muka dari pandangan
selidik Maya. Maya tidak menyambut tangan,
malahan menyuruh mereka berdua masuk. Miko dan Lion duduk di kursi tamu klasik
dengan ukiran kayu jati di pinggiran tangan kursi. Bagian dalam rumah tidak
kalah nyamannya dengan pemandangan di luar, bahkan terasa sangat sejuk. Rumah
yang pas untuk Reina.
“Terimakasih sudah mau datang.
Reina ada di kamar, baru saja selesai makan siang. Kalian mau minum apa ?” Maya
beranjak ke dapur.
“Ga usah repot-report, kami hanya
sebentar.” Lion membuka suara. Maya berhenti mendadak, kaget dengan nada suara buru-buru
Lion.
Maya menempati kursi di sebelah
Miko, kentara menghindari Lion, atau mungkin supaya bisa berhadapan langsung
dengan Lion. Lion tanpa sedikit pun simpati, balik memandangi Maya.
“Bagaimana keadaan Reina ?” kata
Miko memecah kesunyian.
“Stabil. Tapi bisa berubah buruk
kapanpun.” Maya mengalihkan pandangannya dari Lion.
Lion mengangguk-angguk, “Mudah-mudahan
pertemuan ini bisa membantu. Walaupun kami belum kenal lama dengan Reina, kami
hanya bisa berharap yang terbaik.”
“Bagaimana dengan kamu, Lion ?
Apa yang kamu harapkan?” tanya Maya ketus. Miko melirik Lion yang tampak siap
sedia dengan pertanyaan apapun.
“Hal buruk bisa terjadi pada
siapapun, kapanpun. Kita hanya berharap yang terbaik dan move on.” tantang
Lion.
“Kalau kami keberatan datang
kesini, kamu bisa pulang sekarang!” Maya berdiri dan terlihat kesal.
Miko ikut berdiri dan berusaha
menenangkan suasana yang tegang.
“Ayolah! Kita ga perlu seperti
ini, tujuan kami kesini untuk kebaikan Reina, bukan hal omong kosong ini.” Lion
sedikit kesal harus terseret ke masalah ini.
Maya kembali duduk diikuti Miko.
Miko menarik napas panjang, “Mungkin kita bisa ketemu Reina sekarang ?”
Maya ikut menarik napas panjang, “
Sebelum kita masuk, aku harap kalian tidak kaget, siapkan diri kalian untuk hal
yang terburuk. Aku mohon jangan perlihatkan muka kasihan atau sedih.”
Miko mengangguk, melirik Lion
yang sekarang menunduk, mulai menanggapi dengan serius.
“Kalian butuh waktu ? Tidak perlu
buru-buru.”
Miko kembali melirik Lion dan
mereka sepakat dalam anggukan kecil, saatnya menemui Reina. Maya menangkap
pesan itu dan mengajak keduanya menuju kamar di bagian dalam rumah. Maya membuka
pintu, dan suasana rumah sakit langsung menyambut mereka. Kamar yang cukup luas
itu, sudah diubah sedemikian rupa menjadi seperti kamar rumah sakit, kontras
dengan kesan nyaman yang ditemui Miko sejak awal. Kamar tidur yang besar
ditempatkan di tengah ruangan, dilengkapi dengan infus dan monitor detak
jantung. Semuanya kelabu, hanya pot-pot bunga yang ditempatkan di dekat jendela
yang membuat kamar ini sedikit hidup. Tak heran Maya memperingatkan sebelumnya,
rasa kasihan itu akan langsung muncul melihat suasana kamar ini. Kepala tempat
tidur diposisikan sedikit tegak sehingga Miko bisa melihat Reina yang terbaring
tenang. Reina tampak kurus, terlihat usaha kerasnya untuk sembuh. Maya
mendekati Reina dan menyentuh tangannya pelan. Miko dan Lion menunggu di dekat
pintu, kikuk. Maya membisikan sesuatu ke telinga Reina yang perlahan bangun.
Reina melihat ke arah Miko dan Lion.
Reina tersenyum dan mengulurkan tangan ke
arah Lion,
“Hai, aku Reina. Akhirnya kita bertemu."
to be continued...
Comments
Post a Comment